Tradisinews.com – Dalam beberapa pekan terakhir, China desak AS akhiri perang dagang menjadi tajuk utama di berbagai media internasional. Ketegangan antara dua raksasa ekonomi dunia ini telah berlangsung cukup lama, memicu ketidakpastian global dalam sektor perdagangan, teknologi, dan bahkan stabilitas geopolitik.
Mengapa China Mendesak Pengakhiran Perang Dagang?
China memiliki alasan kuat di balik desakan tersebut. Perang dagang yang telah berlangsung sejak 2018 berdampak langsung pada pertumbuhan ekonominya. Gangguan rantai pasok, naiknya tarif impor, serta meningkatnya biaya bahan baku menjadi faktor penekan.
Lebih dari itu, perang dagang juga menekan investasi asing di China. Banyak perusahaan multinasional mulai merelokasi basis produksinya ke negara-negara Asia Tenggara demi menghindari tarif tinggi dari Amerika Serikat.
Efek Domino pada Ekonomi Global
Tak hanya berdampak pada China dan Amerika Serikat, konflik ini juga memberikan efek domino ke negara-negara lain. Harga komoditas global melonjak, nilai tukar mata uang melemah, dan investor cenderung menahan modalnya. Negara berkembang, terutama yang bergantung pada ekspor bahan baku, ikut merasakan imbasnya.
Posisi Amerika Serikat dalam Negosiasi
Sementara itu, posisi Amerika Serikat tidak kalah kompleks. Pemerintahan AS berusaha mempertahankan posisinya sebagai pemimpin ekonomi dunia dengan membatasi dominasi China, khususnya dalam bidang teknologi tinggi seperti semikonduktor, AI, dan jaringan 5G. Namun, tekanan dari pelaku industri dan konsumen lokal membuat pemerintah AS harus menimbang ulang strategi perdagangannya.
Peran Diplomasi Ekonomi dan Pertemuan Tingkat Tinggi
Pada beberapa kesempatan, pejabat tinggi dari kedua negara telah melakukan pertemuan tertutup membahas kemungkinan jalan keluar dari konflik ini. Namun hingga kini, hasilnya masih sebatas pernyataan “komitmen untuk berdialog”. China terus mendorong agar negosiasi konkret segera dimulai, mengingat dampak yang semakin terasa di dalam negerinya.
China Desak AS Akhiri Perang Dagang: Momentum Baru?

Desakan terbaru dari Beijing bukan sekadar retorika diplomatik. China tampaknya melihat ini sebagai momentum untuk membalikkan arah kebijakan AS yang dinilai terlalu proteksionis. Dalam forum ekonomi internasional terakhir di Davos.
“Tantangan global tidak bisa diselesaikan dengan tembok tarif,” ujar salah satu diplomat senior China.
Reaksi Pasar Terhadap Desakan China
Bursa saham Asia mengalami lonjakan, nilai tukar Yuan menguat terhadap Dolar, dan sektor manufaktur menunjukkan pemulihan moderat. Para investor melihat kemungkinan akhir dari perang dagang ini sebagai peluang emas untuk meraih stabilitas jangka panjang.
Ketegangan Teknologi Tetap Jadi Batu Sandungan
Namun, meski desakan dari China semakin vokal, perang teknologi tetap jadi isu yang belum terselesaikan. Pemerintah AS masih membatasi akses perusahaan China terhadap teknologi kritikal, terutama produk semikonduktor dari Taiwan dan Jepang. Langkah ini dianggap Beijing sebagai bentuk perang dingin modern.
Analisa: Siapa yang Sebenarnya Lebih Dirugikan?
Kalau dilihat dari data perdagangan, keduanya mengalami kerugian. Sementara AS mengalami lonjakan harga barang impor, terutama elektronik dan komponen industri. Konsumen Amerika mulai merasakan dampaknya secara langsung dalam bentuk kenaikan harga.
Apa yang Diharapkan China dari AS?
- Penghapusan tarif tinggi atas produk China,
- Pelepasan hambatan teknologi untuk perusahaan seperti Huawei,
- Normalisasi kembali hubungan perdagangan bilateral.
Desakan ini juga disampaikan melalui saluran multilateral seperti WTO dan G20.
Mungkinkah AS Merespons Positif?
Melihat pemilu AS yang kian dekat, kemungkinan adanya respon positif cukup besar. Pemerintah AS ingin menunjukkan keberhasilan diplomatik sebagai bagian dari pencitraan menjelang kampanye. Namun, tekanan dari dalam negeri, terutama sektor industri dan kelompok anti-China, bisa menjadi ganjalan.
Kesimpulan: Akankah Perang Dagang Segera Berakhir?

China desak AS akhiri perang dagang bukan hanya tuntutan biasa. Ini adalah sinyal kuat bahwa Beijing ingin membalikkan arah konflik menuju kolaborasi. Dunia tengah menanti apakah Washington akan merespons dengan strategi kompromi atau tetap bertahan dalam sikap kerasnya.
Jika keduanya bisa menemukan jalan tengah, bukan hanya mereka yang diuntungkan, tapi juga ekonomi global secara keseluruhan akan bernapas lega. Kini tinggal menunggu: siapa yang akan melangkah lebih dulu?