Tradisinews.com – Pada 10 Juli 2025, Kejaksaan Agung resmi menetapkan taipan minyak Mohammad Riza Chalid sebagai tersangka baru dalam skandal korupsi besar-besaran terkait tata kelola minyak Mentah dan produk kilang Pertamina periode 2018–2023. Ia menjadi salah satu dari total 18 orang yang saat ini tengah diperiksa, dengan dugaan kerugian negara mencapai Rp 285 triliun.
Siapa sebenarnya Riza Chalid?
Lahir pada tahun 1960, Riza Chalid dulu digadang sebagai “The Gasoline Godfather” di sektor perminyakan nasional. Ia memimpin sejumlah perusahaan dalam impor minyak melalui Petral (Pertamina Energy Trading Ltd) dan memiliki banyak unit usaha seperti Supreme Energy, Straits Oil, dan Orbit Terminal Merak—semuanya berpusat di Singapura dan wilayah BVI.
Profil ini bukan hanya mencerminkan jaringan bisnis kuat, tapi juga pengaruh besar Riza dalam industri. Tahun 2015, kekayaannya sempat diperkirakan mencapai US$ 415 juta, masuk dalam daftar 100 orang Indonesia terkaya versi GlobeAsia.
Peran Riza dalam Korupsi Minyak
Menurut Direktur Penyidikan Jampidsus, Abdul Qohar, Riza Chalid diduga melakukan sejumlah tindakan melawan hukum bersama sejumlah pejabat Pertamina antara lain:

- Intervensi kebijakan dengan mendorong kerja sama penyewaan Terminal BBM Tangki Merak, padahal saat itu Pertamina belum membutuhkannya.
- Menghilangkan skema kepemilikan aset terminal dalam kontrak, sehingga hak pengelolaan tetap di pihak swasta.
- Menetapkan harga sewa yang sangat tinggi, merugikan negara dalam jangka panjang.
Riza melakukan semua itu bekerja sama dengan sejumlah pejabat tinggi seperti Hanung Budya (Direktur Pemasaran Pertamina 2014), Alfian Nasution (VP Supply & Distribusi 2011–2015), dan Gading Ramadhan Joedo (Dirut Orbit Terminal Merak).
Riza & Anak: Dua Peran Berbeda
Selain Riza, anaknya Muhammad Kerry Adrianto Riza juga telah ditetapkan sebagai tersangka sejak Februari 2025. Kerry berperan sebagai beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa—perusahaan broker impor minyak—yang mencatut keuntungan dari mark-up pengiriman minyak dan produk kilang ke Pertamina.
Dengan demikian, dalam skema besar ini, ayah dan anak memainkan peran masing-masing: Riza dalam penataan dan pengaturan aset terminal, sementara Kerry dalam rantai logistik dan distribusi minyak impor.
Status Buron & Internasionalisasi Kasus
Kini Riza Chalid berstatus buron dan dicekal ke luar negeri. Kabarnya ia berada di Singapura. Kejaksaan telah mendekati otoritas Singapura untuk membantu upaya penangkapan dan menghadirkan dia ke pengadilan.

Dampak Skandal: Mega Korupsi Paling Masif
Kasus ini disebut sebagai yang terbesar dalam sejarah korupsi BUMN, melampaui kerugian previous sebesar Rp 193,7 triliun menjadi Rp 285 triliun. Ini bukan hanya soal uang—permainan harga dan aset ini membawa implikasi besar pada kedaulatan energi nasional serta kepercayaan publik terhadap lembaga Pertamina dan pemerintah.
Mengapa ini penting untuk publik?
- Menguak dinamika korupsi besar-besaran: menunjukkan bagaimana keterlibatan elit dan struktur kekuasaan berkomplot.
- Mendorong reformasi di sektor energi: publik semakin menyadari perlunya transparansi dan pengawasan ketat.
- Jejak perjalanan kasus ini akan menjadi catatan penting dalam sejarah pemberantasan korupsi nasional.
Kesimpulan
Penetapan Riza Chalid sebagai tersangka bukan hanya menyasar individu, tetapi membuka lapisan struktur korupsi di BUMN. Ia dituduh mengatur kontrak terminal Merak agar menguntungkan pihaknya—dengan dukungan jaringan pejabat. Sementara anaknya memanfaatkan perannya sebagai broker minyak untuk meraup keuntungan dari skema impor. Dengan kerugian negara mencapai Rp 285 triliun, skandal ini menjadi salah satu bab terbesar dalam sejarah korupsi Indonesia.